A man is a success,
if he gets up in the morning,
and gets to bed at night,
and in between...
he does what he wants to do.
Bob Dylan.
fulltime daydreamer
a bunch of this and that
Desember 08, 2011
Holiday. Getaway. II
Holiday. Getaway. Part II.
Siapa bilang kalau sedang liburan diharamkan untuk bangun pagi? Hal ini tidak berlaku untuk Reza. Ya. Alih alih menutup mata sampai sekitar pukul 11 siang, dia justru rela bangun di pagi hari buta, demi mengejar momen matahari terbit.
Diakuinya, sekitar pukul 4 pagi dia keluar dari penginapan, mengayuh sepeda ke pinggir pantai, dan menunggu matahari terbit sambil bersantai. Hasilnya? Foto-foto yang lumayan untuk dijadikan wallpaper laptop pun hadir di kamera pinjaman dari Sita. Tidak hanya foto scenery matahari terbit saja, Reza juga sempat mengabadikan pemandangan unik. Yaitu sekumpulan ikan-ikan kecil yang berenang dengan cara unik di perairan sekitar Gili Trawangan. Ikan-ikan ini berenang dengan cara meloncat-loncat di permukaan air. Bahkan sesekali mereka meloncat terlalu tinggi, sampai melewati permukaan. Sehingga terlihat seperti seekor burung kecil yang terbang rendah diatas permukaan air. Sementara Saya, Lika, dan Anka, hanya bisa bengong di penginapan, mencari dimana keberadaan Reza.
Untuk sarapan hari ini, Reza berinisiatif untuk membeli nasi bungkus. Dia meminta tolong pada Wen, penjaga penginapan kami untuk membelikan beberapa bungkus nasi. Dengan lauk ikan, belut, sayur, dan tentunya sambal, sarapan ini sukses membuat mata saya melek. Pedas banget!
Selanjutnya, kami memutuskan untuk menyewa sepeda, dan berkeliling pulau.
Dengan bantuan Wen, kami mendapatkan sepeda dengan biaya penyewaan sebesar 30ribu rupiah per 24 jam. Sebelum mulai berkeliling, kami ingin memastikan bahwa Lika bisa mengendarai sepedanya. Diakuinya bahwa dia bisa mengendarai sepeda, tapi mengalami kesulitan mengendalikannya. Khususnya pada saat harus menghentikan laju sepedanya. Hal ini langsung terlihat di sepanjang kami mengelilingi Gili Trawangan. Beberapa kali Lika terlihat kesulitan mengendalikan sepedanya, sehingga hampir menabrak papan informasi cafe, ataupun orang yang berjalan di sekitarnya. Bahkan Reza pun sempat menjadi korban penabrakan Lika! Gawat!
Kegiatan mengelilingi pulau ini cukup menguras energi. Keringat mengucur deras dan membasahi kaos yang kami kenakan. Apalagi, matahari bersinar terik siang itu. Saya, Reza, dan Anka pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan topless mode. Peduli setan glambir lemak di sekitar perut ini terlihat kemana-mana. Toh tidak ada orang yang saya kenal juga di pulau ini.
Oh iya, sebelum memulai perjalanan keliling pulau, kami makan siang terlebih dulu di sebuah restoran bernama Scallywags.
Tempat ini mendapat nilai yang cukup bagus di beberapa artikel yang kami baca.
Makanan yang tersedia juga bermacam-macam. Mulai dari mie goreng seperti dipesan Reza, Quesadillas yang dipesan Lika, sampai sandwich nikmat mengenyangkan yang saya pesan. Untuk minuman pendukungnya, tentu saja sebotol besar Bir Bintang dingin yang paling cocok. Untuk harga, masih terbilang affordable. Untuk makanan, bervariasi dari sekitar 20ribu, sampai 100ribuan. Bagi pelancong yang ingin berhemat, mungkin makanan disini terbilang mahal. Tapi, tempat ini masuk dalam daftar yang harus dikunjungi untuk mengisi perut, meskipun hanya sekali. Jadi, sisihkan uang dan sempatkan mengunjungi Scallywags!
Selanjutnya, kami menemukan tempat bersantai yang sangat ideal. Tempat ini dekat dengan penginapan kami, dan dihari-hari ke depannya, tempat ini yang akan jadi tempat favorit kami. Namanya Cafe Gili.
Tempat ini menyediakan konsep yang menyenangkan. Mereka meletakkan bean bag dalam ukuran besar di pinggir pantai. Ditambah dengan meja kecil, yang tingginya disesuaikan dengan bean bag. Kami pun merebahkan tubuh lelah kami di bean bag tersebut. Ahhh, nyamannya. Ini saatnya untuk memesan bir dingin, dan melakukan kegiatan yang sudah saya rencanakan dari di Jakarta. Membaca buku di pinggir pantai! Buku yang saya pilih adalah The Game, karya Neil Strauss.
Saat hari menjelang gelap, kami kembali dulu ke penginapan untuk mandi, dan bersiap mencari keriaan di Gili Trawangan. Jumat malam adalah party time at Rudy’s Bar! Begitu informasi yang kami dapatkan dari pemuda setempat.
Terkenal sebagai party island, Gili Trawangan menawarkan konsep pesta yang unik. Alih alih setiap cafe dan bar disana menawarkan pesta tiap malamnya, mereka malah menyajikan jadwal pesta yang sangat teratur. Pesta diadakan di hari-hari tertentu, dan di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Senin malam adalah waktunya pesta di Tir Na Nog Irish Bar. Rabu malam adalah reggae party di Sama-Sama Bar. Sementara Jumat malam waktunya Rudy’s Bar yang menggelar pesta. Dengan jadwal liburan kami, maka kami hanya bisa merasakan pesta di Rudy’s Bar.
Kami pun melewati Rudy’s Bar saat mencari tempat untuk makan malam. Belum terlihat ada tumpukan pengunjung disana. Tapi suasana pesta memang sudah mulai tampak. Papan pengumuman yang ada di depan Rudy’s Bar pun tertulis bahwa ada pesta di tempat itu. Kami melangkahkan kaki terlebih dulu ke Beach House, untuk mengisi perut. Di tempat ini, kami memutuskan untuk memesan seafood. Mulai dari ikan bakar, cumi-cumi, dan udang. Sebagai compliment, kami mendapatkan salad dan makanan pendukung lainnya secara cuma-cuma. Kami pun tidak mau rugi. Kami mengambil beberapa porsi salad, kentang rebus, nasi, dan sayur khas lombok, bebero.
Beach House cukup mendapat nilai bagus di beberapa artikel yang kami baca. Tidak mengherankan. Karena memang tempatnya bagus, bersih, makanannya enak, dan pelayanannya pun ramah. Bahkan salah satu pegawai Beach House yang bernama Wawan, menawarkan kami magic mushroom. Tidak hanya itu, dia pun menunjuk lantai dua restoran tersebut, sebagai tempat untuk meluangkan waktu setelah mengonsumsi magic mushroom. Tangga ke lantai 2 itu ditutup dengan tali, pertanda tidak bisa sembarang naik begitu saja. Tepat diatas anak tangga pertama, ada papan bertuliskan, “Stairway to Heaven.” Makin jelas sepertinya itu tempat apa.
Kami memutuskan membeli dua gelas magic mushroom yang sudah dihancurkan dan dicampur dengan jus apel dan Kratingdaeng. Hmmm, rasanya enak sekali! Tidak terasa aroma aneh khas magic mushroom! Dengan cepat kami berempat menghabiskan magic mushroom seharga 100ribu pergelas itu.
Karena ingin merasakan pesta di Rudy’s Bar, kami memutuskan untuk tidak naik ke lantai 2 restoran Beach House. Kami pun membayar makanan, dan berpamitan pada Wawan. Psssttt, harga makanan disini terbilang mahal! Malam itu kami membayar sekitar 500ribu untuk pesanan kami! Setelah dilihat oleh Lika, ternyata di bill-nya tertulis ada pajak 21%! Seperti hotel berbintang saja.
Di Rudy’s Bar, suasana pesta sudah dimulai. Lampu-lampu berwarna warni sudah mulai menyoroti ke berbagai arah. Bar sudah mulai sesak oleh turis. Begitu pun dengan dance floor. Sudah ada beberapa orang yang ajojing dengan asiknya. Terlihat sekali mereka sedang ada di bawah pengaruh substansi. Kami membeli bir di bar, lalu mencoba bergabung dengan kerumunan.
Sial, pengaruh magic mushroom mulai terasa. Badan saya mulai terasa lemas, pandangan pun mulai kabur. Entah kenapa kali ini tidak seperti biasanya. Badan saya mengeluarkan keringat dengan volume yang lumayan banyak. Ternyata hal ini juga terjadi pada Reza dan Anka. Mereka terus-terusan mengeluhkan keringat yang keluar dan lemasnya persendian mereka. Kami mencoba menikmati lagu yang keluar dari pengeras suara, dan suasana yang ada malam itu. Sementara Lika, seperti biasa, mencoba melihat ke seantero Rudy’s Bar. Siapa tahu ada turis asing yang bisa dibawa pulang, ya nggak? :p
Lumayan lama kami menghabiskan waktu di Rudy’s Bar. Selanjutnya kami pindah ke Sama-Sama Bar untuk bersantai sejenak. Menikmati lagu-lagu reggae, yang menurut Lika sesuai dengan slogannya, “happy people listen to reggae music,”.
Makin malam, saya makin tidak bisa mengendalikan diri. Saya memutuskan untuk kembali ke penginapan, sendirian. Saya ingin menikmati pengaruh magic mushroom ini. Anti rugi! Di penginapan, saya memasang earphone, dan memutar musik-musik langganan di momen seperti ini. Sigur Ros, Enya, dan Mali Music jadi pilihan malam itu. Saya begitu menikmatinya, sampai tidak mendengar ketukan pintu dari Lika. Ya. Mereka sudah pulang dalam keadaannya masing-masing. Reza dan Anka yang masih dibawah pengaruh magic mushroom, dan Lika yang sudah menenangkan dirinya dengan meminum wine di Sama-Sama Bar tadi.
Malam itu saya tidur di kamar dengan Reza, dan Lika tidur dengan Anka di kamar sebelah. Terdengar gerungan Anka yang mengeluh susah tidur. Begitu juga dengan Reza yang terdengar gelisah di sebelah saya. Mereka masih dibawah pengaruh magic mushroom ternyata. Mari dinikmati. Namanya juga liburan.
On the playlist:
Enya: Only If
Sigur Ros: Hoppipolla
Sigur Ros: Staralfur
Sigur Ros: Olsen Olsen
Explosion In The Sky: First Breath After Coma
Graham Coxon: Bittersweet Bundle of Misery
Justice: D.A.N.C.E.
Vampire Weekend: Cape Cod Kwassa Kwassa
I’m From Barcelona: Treehouse
Yeasayer: ONE
Fastball: Out of My Head
Holiday. Getaway.
Seperti yang dilantunkan oleh Ezra Koenig di lagu lagu Vampire Weekend – Holiday, liburan memang saat yang ditunggu-tunggu. Saya dan beberapa teman saya merencanakan liburan di awal bulan November. Kami ingin mengunjungi Gili Trawangan. Sebuah pulau kecil dengan nuansa khas tropis di Nusa Tenggara Barat yang lebih menjadi destinasi liburan favorit turis asing ketimbang turis domestik.
Dari jauh-jauh hari, Saya, dan dua teman saya, Lika dan Reza, sudah membuat rencana. Kami juga mengajak beberapa teman lainnya, tapi sayang terkendala oleh pekerjaan mereka masing-masing. Maka, hanya Saya, Lika, Reza, dan Anka, yang merupakan adik lika, yang akhirnya berangkat ke Gili Trawangan.
Kami berencana menghabiskan 5 hari 4 malam di Gili Trawangan. Kami pun memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan untuk menunaikan liburan tersebut. Kami memutuskan untuk menaiki maskapai Lion Air tujuan Jakarta-Mataram. Karena di H-7, mereka mematok harga yang cukup masuk akal, yaitu 1 juta untuk pulang pergi Jakarta-Mataram-Jakarta. Lika pun dengan baik hati memesan tiket melalui situs resmi Lion Air, dengan menggunakan kartu kreditnya terlebih dahulu. Selanjutnya kami membayar sesuai dengan biaya yang tertera.
Penerbangan yang kami ambil adalah penerbangan pagi. Menurut tiket yang dibeli, kami akan berangkat pukul 9 pagi WIB. Keputusan ini kami ambil mengingat perjalanan dari Bandara Internasional Lombok (yang baru saja dibangun dan diresmikan beberapa waktu yang lalu) menuju pelabuhan Bangsal cukup memakan waktu. Apalagi dengan kenyataan bahwa public boat yang akan membawa kami menyeberang ke Gili Trawangan, hanya melayani sampai pukul 4 sore.
Maka Saya, Reza, dan Anka pun memutuskan untuk menginap di tempat kos Lika, sehari sebelumnya. Supaya besok paginya bisa berangkat bersama ke bandara. Saya pribadi takut ketiduran kalau harus berangkat sendirian dari rumah!
Taksi yang kami tumpangi melaju dari tempat kos Lika di daerah Senayan menuju Bandara Soekarno Hatta pada pukul 6 pagi. Tanpa dinyana, jalanan menuju bandara pagi itu lancar sekali. Tanpa banyak mengalami kendala, kami sampai di bandara pada pukul 7. Alhasil, banyak waktu yang harus dibuang di bandara. Kami pun memutuskan untuk sedikit mengisi perut sebelum masuk ke dalam. Donat dan kopi jadi pilihan pagi itu.
Setelah melalui proses check in dan membayar airport tax sebesar 40ribu rupiah, kami pun memasuki boarding room. Thank god! Penerbangan kami tidak mengalami penundaan jadwal oleh maskapai yang memang terkenal dengan layanan delay-nya ini. Segera setelah kami menempati tempat duduk masing-masing di dalam pesawat, rasa kantuk pun menyerang. Setelah pesawat berada ribuan kaki di udara, saya pun memasang earphone, dan memutar playlist liburan yang sudah saya susun sebelumnya di iPhone saya. Maka, lantunan merdu dari The Beach Boys, Vampire Weekend, Devendra Banhart, Empire of the Sun, Little Joy, The Libertines, The Pains of Being Pure at Heart, Sigur Ros, The Trees And The Wild, Weezer, dan Yeasayer, mengantar saya mempersiapkan mental berlibur, dan tertidur pulas di pesawat.
Tidak berapa lama kemudian, kami pun tiba di Bandara Internasional Lombok.
Saat kami melangkahkan kaki ke area luar dari bandara tersebut, waktu setempat menunjukkan pukul 12 siang. Ya, daerah ini masuk di daerah WITA, yang berarti lebih cepat satu jam daripada waktu Jakarta.
Sebelum memutuskan akan menggunakan transportasi apa selanjutnya, saya melangkahkan kaki menuju mesin ATM BCA. Berhubung saya belum tahu seperti apa kondisi di Gili Trawangan, dan menurut beberapa blog yang saya baca, tidak terdapat banyak mesin ATM disana, saya rasa akan lebih aman kalau saya membawa uang tunai. Saya pun mengambil beberapa lembar uang rupiah pecahan seratus ribu dari mesin ATM.
Lika menganjurkan agar kami menaiki bis DAMRI terlebih dulu, sebelum nantinya melanjutkan naik taksi. Bis DAMRI ini akan mengantar kami sampai ke kota Mataram. Dari situ lah nantinya kami akan melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Bangsal dengan menggunakan taksi. Tanpa disangka, perjalanan dari bandara ke pool Damri di daerah Swate cukup memakan waktu. Kurang lebih selama satu setengah jam kami dibuat kedinginan di dalam bis tersebut. Beruntung saat turun di pool DAMRI, sudah ada taksi Blue Bird yang baru saja mengantar penumpangnya. Maka kami pun menaiki taksi tersebut, dan minta diantarkan ke pelabuhan Bangsal.
Supir taksi tersebut memberikan beberapa saran yang lumayan baik. Seperti, pilihan jalur yang akan ditempuh saat menuju pelabuhan Bangsal. Ada dua jalur yang bisa ditempuh. Satu, melewati daerah pariwisata pantai di Lombok, yaitu Senggigi. Kami bisa mendapatkan scenery indah selama perjalanan. Namun perjalanan akan memakan waktu lama, karena jarak yang lumayan jauh. Sementara pilihan kedua adalah berjalan lurus ke Utara melalui Monkey Forest. Tidak banyak pemandangan yang bisa memanjakan mata. Karena sepanjang jalan kami disuguhi dengan jalan berkelok khas daerah kaki gunung. Tapi jarak yang ditempuh tidak sejauh pilihan pertama.
Sebelum melintasi Monkey Forest, tidak lupa saya minta diantarkan ke mini market terdekat. Untuk membeli sandal jepit, karena saya lupa membawa sandal jepit. Tidak sudi rasanya kalau sepatu Sperry boatshoe ini sampai terkena pasir, apalagi air laut!
Sampai di pelabuhan Bangsal, kami masih harus menaiki Cidomo ke area dalam. Cukup membayar 20ribu, tanpa harus menanyakan lebih lanjut lagi soal harganya. Karena kalau menanyakan soal harga, kusir cidomo akan mematok harga yang lebih mahal. Bisa sampai 15ribu per orang!
Turun dari cidomo, kami sampai di area pinggiran pelabuhan. Saatnya untuk membeli tiket public boat untuk menyebrang.Hati-hati disini! Karena banyak orang yang akan membuat bingung. Seolah-olah mereka menjual tiket public boat, padahal mereka hanya menjual tiket untuk chartered boat dan shuttle boat, yang tentu saja jauh lebih mahal dari public boat. Kami sempat terkecoh dengan memasuki salah satu rumah yang terlihat seperti penjual tiket public boat. Dibuat bingung selama beberapa menit, kami akhirnya memutuskan untuk masuk saja ke dalam area pelabuhan. Dan benar saja, di pinggir pelabuhan ada satu counter kecil yang menjual tiket public boat! Jadi, kalau mau ke Gili Trawangan, begitu sampai di pelabuhan Bangsal, langsung saja berjalan ke dalam, sampai di pinggir laut, untuk kemudian membeli tiket di counter yang terletak tidak jauh dengan garis pantai.
Untuk menggunakan layanan penyeberangan public boat, biaya yang harus dikeluarkan tidak mahal. Cukup dengan 10ribu rupiah per orang. Tapi tidak enaknya adalah, kami harus menunggu sampai perahu tersebut penuh, baru akan jalan menyeberang ke Gili Trawangan. Maka kami pun harus menunggu sampai penumpang berjumlah 20 orang, baru kami memasuki perahu. Oh iya, batas penumpang ini seperti berbeda-beda, tergantung perahunya. Karena ada yang menunggu sampai 20 orang, tapi ada juga yang hanya menunggu sampai 16 orang.
Di atas perahu, kami duduk berdampingan dengan orang-orang lain yang juga menuju Gili Trawangan. Berhubung saya mabuk laut, maka saya tidak lupa untuk menenggak sebutir pil antimo sebelum perahu melaut.
Rasanya unik melihat seisi perahu. Karena terdiri dari anak buah kapal, turis lokal seperti kami, turis asing dari berbagai negara, dan tidak lupa penduduk lokal Gili Trawangan yang baru saja membeli perlengkapan hidup di Lombok. Karena memang untuk membeli sesuatu apa pun, mereka harus menyebrang ke Lombok. Namanya juga pulau kecil.
Selama kurang lebih 40 menit, kami dibawa mengarungi laut tenang menuju Gili Trawangan. Sepanjang perjalanan, kami dibawa melewati 2 Gili lainnya, yaitu Gili Air dan Gili Meno. Di tengah-tengah perjalanan, tentu saja perahu dibuat bergoyang oleh ombak. Tapi tenang saja, ombak disini terhitung tenang, tidak terlalu besar. Jadi tidak terlalu banyak goncangan yang dirasakan. Hanya saja, saat penumpang yang tersebar di sisi kiri dan kanan perahu tidak seimbang jumlahnya, maka perahu akan bergoyang dengan lebih hebat lagi.
Ada kejadian yang menegangkan di penyeberangan ini. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terdengar bunyi keras seperti benda keras menghantam sisi badan perahu. Anak buah kapal pun panik dan berteriak, untuk selanjutnya berlari ke bagian depan perahu dan melihat ada apa gerangan yang terjadi. Ternyata bunyi keras tersebut dihasilkan oleh jangkar yang secara tiba-tiba terlepas dari ikatannya dan terjatuh ke dalam laut. Anak buah kapal tersebut tentu saja berteriak kepada rekannya yang ada di belakang perahu untuk segera menghentikan laju kapal. Bayangkan saja apa yang terjadi kalau perahu kecil ini terus berjalan dengan keadaan jangkar yang sudah jatuh ke laut? Bisa saja perahu ini tertarik dan terbalik! Dengan sigap, anak buah kapal yang ada di bagian depan menarik jangkar untuk kemudian mengikatnya dengan lebih kuat. Perjalanan pun berlanjut.
Akhirnya, sampai juga kami di pelabuhan Gili Trawangan. Dengan semangat, saya menuruni perahu, untuk selanjutnya berjalan perlahan memasuki area pulau tersebut. Senyum terkembang. Inilah liburannya. Saya akan berlibur disini selama beberapa hari ke depan.
Tanpa banyak basa basi, kami langsung berjalan untuk mencari penginapan. Sambil melihat-lihat sekeliling, kami berjalan di jalan utama Gili Trawangan yang hanya berukuran sekitar 3-4 meter lebarnya. Kami berjalan ke arah Utara, karena menurut blog yang kami baca, disitulah banyak penginapan murah terletak. Sementara kalau berjalan ke arah Selatan, maka akan ditemui berbagai macam cafe, restaurant, dan resort menengah keatas dengan harga mahal tentunya.Setelah berjalan lumayan jauh, akhirnya kami memutuskan untuk segera menentukan penginapan mana yang akan kami pilih. Kami bertemu dengan seorang pemuda bernama Wen, yang menawarkan penginapan pada kami. Dia menganjurkan kami untuk melihat kamarnya terlebih dulu, baru menentukan akan menginap disitu atau tidak. Kami pun mengiyakan ajakannya.
Kami berjalan menyusuri gang yang lebih kecil lagi ukurannya daripada jalanan utamanya. Rasa-rasanya, mobil tidak akan cukup melalui gang yang saat ini kami lalui. Oh iya, di Gili Trawangan tidak ada satu pun kendaraan bermotor. Baik itu mobil ataupun sepeda motor. Yang ada hanya cidomo dan sepeda. Keadaan ini membuat Gili Trawangan lebih bebas dari polusi. Tapi tidak dengan polusi penciuman, karena di beberapa area terlihat kotoran kuda yang terjatuh dari tempatnya, dan menimbulkan bau yang lumayan menyengat, hehehe.
Setelah berjalan sekitar 200 meter, akhirnya kami sampai di penginapan yang bernama You and Me Homestay. Penginapan ini hanya memiliki 2 kamar di areanya. Dikelilingi dengan tembok lumayan tinggi, sebuah gazebo di bagian depan, dan taman kecil yang dipenuhi berbagai tanaman dengan bunga yang berwarna-warni. Lumayan juga. Kami segera mengecek bagian dalam kamarnya. Di dalamnya tidak terdapat AC. Hanya ada 2 buah kipas angin untuk mengusir panas. Sebuah kasur berukuran sedang tedapat di dalamnya. Sebuah lemari di sudut, dan sebuah kamar mandi dengan wc duduk dan shower. Disediakan juga sebuah dispenser lengkap dengan galon untuk air minum selama menginap. Ada juga extra bed yang sudah tersedia dan bisa digunakan tanpa dikenakan biaya tambahan.
Kami memutuskan untuk menyewa dua kamar di penginapan ini. Sayang, di malam pertama, kamar satu lagi masih ditempati oleh turis asing. Dia baru akan check out esok paginya. Maka kami baru bisa menggunakan kamar tersebut esok siang. Ya sudah lah, malam ini kami akan tidur berempat di satu kamar terlebih dulu.
Saat menanyakan perihal biaya sewanya, Wen bertanya akan berapa hari kami menginap disana. Saat mengatakan 4 malam, Wen pun memberi harga yang lumayan murah. Yaitu 80 ribu rupiah semalam. Harga ini dibawah ekspektasi kami. Karena saya pribadi berpikiran bahwa dia akan membuka dengan harga sekitar 120-150ribu rupiah terlebih dahulu, baru kami akan melakukan proses tawar menawar. Kami pun setuju untuk menginap disitu tanpa melalui proses tawar menawar.
Segera kami memasuki kamar dan menaruh semua barang bawaan kami. Karena harus diakui, membawa backpack besar sambil berjalan kaki daritadi ternyata cukup melelahkan. Kami pun melepas lelah sejenak di halaman depan penginapan tersebut. Sambil sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokok, kami mulai menyusun rencana untuk malam harinya. Hal pertama yang kami lakukan adalah, mencari makan. Karena memang kami belum makan dari siang tadi. Sepanjang hari ini, hanya donat tadi pagi yang masuk ke perut kami.
Sambil memilih tempat makan yang ada di sebuah majalah panduan, kami berjalan keluar dari penginapan. Akhirnya pilihan kami adalah menyambangi sebuah tempat dengan nama Warung Indonesia untuk makanan pertama kami di Gili Trawangan. Tempat ini kami pilih dengan asumsi mereka menyediakan makanan lokal (yaitu nasi lengkap dengan lauk-lauknya), karena tingkat kelaparan kami ini sudah luar biasa.
Kami sempat dibuat bingung dengan letak Warung Indonesia. Karena tempat ini terletak tidak di pinggir jalan utama. Melainkan agak masuk ke dalam, bersebelahan dengan deretan penginapan dan rumah-rumah penduduk lokal. Begitu melangkahkan kaki ke dalam Warung Indonesia, terlihat poster yang menampilkan menu andalan mereka. Dan itulah yang jadi pilihan saya sore itu, nasi campur.
Awalnya, saya pikir nasi campur ini akan menjadi serupa dengan nasi campur seperti di Bali. Lengkap dengan daging atau sate babi. Tapi ternyata tebakan saya salah. Karena mayoritas penduduk di Gili Trawangan adalah Muslim, jadi nasi campur ini pun tidak mengandung babi. Lauk yang ada di nasi campur ini cukup beragam. Mulai dari rendang, ayam goreng, teri dan kacang balado, sayur bayam, sayur toge, tahu goreng, dan orek tempe. Lengkap dengan sambal yang tentunya pedas!
Selesai melahap makanan pertama kami di Gili Trawangan, kantuk pun menyerang. Maklum, kami terbilang kurang tidur, juga lelah akibat perjalanan yang lumayan jauh dan memakan waktu. Sambil menunggu makanan di perut terolah dengan sempurna, kami memutuskan untuk bersantai dulu di sofa panjang yang disediakan di Warung Indonesia. Angin semilir yang menerpa, perut kenyang, dan lelah yang menyerang, membuat saya sukses tertidur selama beberapa menit. Beruntung saya dibangunkan oleh suara berisik Reza dan Lika yang bersiap untuk membayar makanan yang sudah kami pesan.
Selanjutnya, kami berjalan ke pantai Timur Gili Trawangan. Lokasi cafe serta restoran berjejer menawarkan keunggulannya masing-masing. Kami melewati jalan-jalan kecil di perumahan warga lokal. Setelah memilih-milih, kami akhirnya memutuskan Rudy’s Bar sebagai tempat pilihan selanjutnya.
Setelah sempat berargumen perihal minuman yang akan kami pesan, kami memutuskan untuk memesan satu pitcher vodka-red bull. Kami memang sempat berargumen soal minuman ini. Maklum, saat kami memesan, waktu masih menunjukkan pukul 7 malam. Masih terlalu sore untuk mabuk. Satu pitcher vodka-red bull datang dengan seloyang pizza yang dipesan oleh Lika. Makanan yang tepat ternyata sebagai teman minum malam itu.
Sampai sekitar pukul 10 malam, kami berempat sudah menghabiskan 4 pitcher minuman. Dua pitcher Vodka-redbull, satu pitcher vodka-orange, dan satu pitcher vodka-watermelon juice. Tidak lupa dua botol besar bir Bintang. Mabuk? Tidak terlalu. Tapi kami sudah mulai berisik dan mulai tidak menghiraukan keadaan dan pengunjung sekitar kami. Bahkan Saya, Reza, dan Anka, sampai tidak menyadari bahwa ada 3 turis asing wanita yang duduk di meja sebelah kami, dan sudah memperhatikan kami sedari tadi. Menurut Lika, mereka menunggu untuk diajak bersenang-senang bersama. Tapi apa daya. Kami sudah terlalu asik sendiri, dan memang pada dasarnya kami kurang pede untuk mingle dan flirting begitu saja (cemen ya?).
Badan yang lelah ditambah dengan asupan makanan dan alkohol yang lumayan banyak, membuat kantuk yang menyerang makin menjadi. Sekitar pukul 11 malam, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Beristirahat, bersiap untuk hari esok. Malam ini kami masih tumplek blek di satu kamar. Karena kamar sebelah masih diisi oleh turis lainnya. Reza, Lika, dan Anka tidur di kasur utama, sementara saya memutuskan untuk merebahkan tubuh ini di extra bed yang tersedia. Musik mengalir melalui earphone saya, dan siap mengantar saya ke alam mimpi. Tapi ternyata belum saatnya untuk tidur. Karena Lika masih berkicau dengan suara cemprengnya. Malam itu entah kenapa Lika terdengar lebih bawel dari biasanya. Kontrol tubuhnya pun tidak prima. Seringkali dia terlihat hampir terjatuh, atau menabrak lemari atau barang apa pun yang ada di kamar. Saya pun teringat kalimat yang pernah diucapkannya, “aku itu kalau mabuk pasti jadi berisik,” maka bisa dipastikan bahwa Lika malam itu mabuk.
On the playlist:
T-Rex: 20th Century Boy
Ace of Base: The Sign
Vampire Weekend: Holiday
Iwa K.: Bebas
Monkey to Millionaire: Strange is the Song in Our Conversation
John Mayer: Who Says
Mark Ronson & The Business Intl: Bang Bang Bang
Blink 182: What’s My Age Again?
Graham Coxon: Feel Alright
Albert Hammond Jr.: Back to the 101
The Foundations: Build Me Up Buttercup
Juni 21, 2011
Tenggang Rasa Itu Masih Ada
Manusia modern di Jakarta, sudah lebih banyak menelan mentah-mentah nilai budaya Barat. Terlebih untuk masyarakat kelas menengah ke atas. Seakan semua memuja sikap dan budaya individualistis, seperti yang sering kita lihat, baca, ataupun dengar di cerita budaya masyarakat Barat. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Apalagi mengingat persaingan dan keruwetan hidup di kota metropolitan seperti Jakarta. Seakan sikap indivualistis jadi oase menyegarkan, yang bisa mengistirahatkan jiwa dari hiruk pikuk pukul 7 pagi dan 5 sore.
Tenggang rasa, yang pernah diajarkan saat Sekolah Dasar dulu, seakan menguap entah kemana. Sikap yang menurut generasi sebelum kita sebaiknya dijadikan dasar dalam menjalani hidup, seakan dilupakan.
Saya sendiri termasuk orang yang cuek, kalau tidak mau dibilang masa bodo, terhadap keadaan sekeliling di jalan. Apalagi saat berada di pusat keramaian, jalan raya yang penuh dengan orang dan kendaraan, atau saat berada di tengah terminal kendaraan umum, yang suasananya membuat ingin punya jurus ninja untuk secepatnya menghilang dari tempat tersebut. Apalagi dengan kenyataan, banyak modus kejahatan yang beredar di kota sebesar dan sekreatif Jakarta. Para penjahatnya ikutan kreatif. Seakan tidak mau ketinggalan dengan buruannya yang sudah barang tentu punya pola pikir tertentu untuk melindungi diri dari kejahatan. Kalau lantas ada orang yang bersikap cuek terhadap seseorang yang meminta tolong di tengah keramaian, tentu tidak mengherankan. Terlalu banyak kadar curiga terhadap orang asing yang baru ditemui saat itu.
Tapi ada satu kejadian yang cukup membuat saya tersenyum. Sudah setengah tahun belakangan saya jarang beraktivitas dengan menggunakan kendaraan pribadi. Selain ingin mencoba lebih berhemat, macet yang kian parah membuat saya menyerah melajukan mobil di jalanan Jakarta, kalau kondisinya tidak mendesak. Jadi, mikrolet dan mode transportasi paling gres di Jakarta, TransJakarta, adalah teman saya dalam melibas kegiatan sehari-hari.
Mikrolet M44 adalah salah satu angkutan umum yang sering saya naiki. Dari Kampung Melayu, mikrolet ini berjalan lincah (atau pasrah) menerobos kemacetan kawasan Casablanca.
Suatu waktu, saya sedang berada di mikrolet M44. Dan saya melihat seorang penumpang lain dengan wajah kebingungan. Dengan gelisah dia berulang kali melongok ke kiri dan kanan, seakan mencari lokasi tanpa kepastian. Saat bangku depan, yang berada tepat disamping supir kosong, dia pun pindah ke depan. Tanpa banyak basa basi, dia pun langsung bertanya pada sang supir.
"Mas, apartemen Vika itu sudah lewat atau belum ya? Saya mau kesana. Apartemen yang lagi ada proyek pembangunan," ujar orang itu, seorang bapak tua dengan kisaran umur di atas 50 tahun.
Saya yang kebetulan duduk di belakang supir mendengar pertanyaan tersebut. Saya pun bingung. Seumur-umur berkeliling di daerah Kuningan-Casablanca, belum pernah saya mendengar ada kawasan apartemen dengan nama Vika. Saya pun tertarik untuk mendengar lebih lanjut percakapan antara bapak tua itu dengan si supir.
"Apartemen apa pak? Apartemen Vika? Dimana alamatnya? Lokasinya di sebelah mana? Dikasih tahu ancer-ancernya nggak?" jawab si supir kebingungan.
"Katanya di Casablanca. Apartemen Vika, lagi ada proyek disitu. Saya mau kerja bangunan disitu mas. Sudah lewat belum ya?" tanya si bapak lagi, dengan logat Jawa yang kental.
"Bapak nggak punya alamatnya? Setahu saya sih di daerah Casablanca ini nggak ada yang namanya Apartemen Vika pak. Tapi kalau proyek bangunan, ada di depan. Bapak nanti turun disitu saja, siapa tahu benar" jawab si supir.
Si bapak tua pun mengangguk, menggantungkan nasibnya kepada si supir yang masih terlihat bingung.
"Punya hp nggak pak? Telpon saja orangnya. Ada nomor telpon kenalan bapak disitu?" tanya si supir lagi.
"Nggak punya mas. Cuma dikasih tahu saja Apartemen Vika, di Casablanca, gitu. Saya baru sampai dari kampung tadi pagi di Senen. Sudah muter-muter dari pagi, belum ketemu juga," jawab si bapak, memelas.
Si supir pun diam. Memacu mikroletnya supaya lebih cepat sampai di lokasi yang tadi dimaksudnya.
Tepat di depan sebuah proyek pembangunan gedung, si supir memberhentikan mobilnya.
"Pak, ini proyek bangunan yang saya bilang. Coba bapak turun saja, langsung masuk ke dalam, tanya sama mandornya. Soalnya nggak ada lagi proyek di daerah sini," ujar si supir.
"Oh ini ya. Ya sudah saya turun sini saja mas. Semoga bener ini tempatnya ya. Capek juga saya muter terus dari pagi," jawab si bapak sambil membuka pintu, untuk kemudian turun.
Layaknya penumpang angkutan umum lain, si bapak itu memberikan sejumlah uang kepada si supir. Ongkos sesuai tarif yang berlaku. Yang mengherankan, si supir justru menolak uang tersebut dengan halus.
"Sudah pak, nggak usah bayar. Bapak langsung masuk saja ke dalam," jawab si supir.
"Wah terima kasih ya mas," ujar si bapak sambil melangkah gontai ke dalam area proyek.
Saya pun heran . Tumben seorang supir mikrolet menolak ongkos dari penumpangnya. Biasanya, ongkos kurang 500 rupiah saja ditagih. Saya pun mencoba ngobrol dengan si supir, berkaitan dengan bapak tersebut.
"Bapak itu sudah berulang kali naik mobil saya hari ini. Tadi itu sudah ketiga kalinya. Kasihan saya. Dari pagi cari lokasi kerjanya, tapi nggak ketemu. Nggak megang hp, nggak dikasih alamat jelas, main jalan saja ke Jakarta. Gimana kalau ternyata bapak itu ditipu? Lebih kasihan lagi kan? Itulah rakyat kita yang kurang pendidikan. Kurang bisa berpikir logis, kurang cermat jadinya. Kasihan. Pemerintah kurang memperhatikan nasib rakyat yang kayak bapak itu," jelas si supir panjang lebar.
Saya pun tertegun. Terkejut. Terkejut dengan kenyataan bahwa bapak itu sudah 3 kali naik angkot dengan supir yang sama, dan terkejut dengan kemurahan hati si supir.
"Kalau nanti pas saya lewat situ lagi, dan si bapak ada di depan, pasti saya suruh naik mobil saya lagi. Siapa tahu ternyata tempat itu bukan yang dicari. Saya suruh naik mobil saya, nggak usah bayar, kita cari lagi tempatnya. Kalau memang nggak ketemu, ya kita lihat nanti gimana selanjutnya," ujar si supir.
Saya yang sudah harus turun pun melangkahkan kaki keluar mikrolet. Masih dengan perasaan terkejut, sekaligus salut dengan pemikiran dan kebaikan hati si supir. Si supir tentu membutuhkan uang supaya bisa membayar setoran per harinya. Tapi dia tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan, nilai ketimuran lebih tepatnya, untuk membantu sesamanya. Dia rela untuk kehilangan satu ruangan penumpangnya, demi membantu seorang asing yang belum pernah ditemui sebelumnya, yang kebetulan lagi kesusahan.
Tenggang rasa itu masih ada.
Tenggang rasa, yang pernah diajarkan saat Sekolah Dasar dulu, seakan menguap entah kemana. Sikap yang menurut generasi sebelum kita sebaiknya dijadikan dasar dalam menjalani hidup, seakan dilupakan.
Saya sendiri termasuk orang yang cuek, kalau tidak mau dibilang masa bodo, terhadap keadaan sekeliling di jalan. Apalagi saat berada di pusat keramaian, jalan raya yang penuh dengan orang dan kendaraan, atau saat berada di tengah terminal kendaraan umum, yang suasananya membuat ingin punya jurus ninja untuk secepatnya menghilang dari tempat tersebut. Apalagi dengan kenyataan, banyak modus kejahatan yang beredar di kota sebesar dan sekreatif Jakarta. Para penjahatnya ikutan kreatif. Seakan tidak mau ketinggalan dengan buruannya yang sudah barang tentu punya pola pikir tertentu untuk melindungi diri dari kejahatan. Kalau lantas ada orang yang bersikap cuek terhadap seseorang yang meminta tolong di tengah keramaian, tentu tidak mengherankan. Terlalu banyak kadar curiga terhadap orang asing yang baru ditemui saat itu.
Tapi ada satu kejadian yang cukup membuat saya tersenyum. Sudah setengah tahun belakangan saya jarang beraktivitas dengan menggunakan kendaraan pribadi. Selain ingin mencoba lebih berhemat, macet yang kian parah membuat saya menyerah melajukan mobil di jalanan Jakarta, kalau kondisinya tidak mendesak. Jadi, mikrolet dan mode transportasi paling gres di Jakarta, TransJakarta, adalah teman saya dalam melibas kegiatan sehari-hari.
Mikrolet M44 adalah salah satu angkutan umum yang sering saya naiki. Dari Kampung Melayu, mikrolet ini berjalan lincah (atau pasrah) menerobos kemacetan kawasan Casablanca.
Suatu waktu, saya sedang berada di mikrolet M44. Dan saya melihat seorang penumpang lain dengan wajah kebingungan. Dengan gelisah dia berulang kali melongok ke kiri dan kanan, seakan mencari lokasi tanpa kepastian. Saat bangku depan, yang berada tepat disamping supir kosong, dia pun pindah ke depan. Tanpa banyak basa basi, dia pun langsung bertanya pada sang supir.
"Mas, apartemen Vika itu sudah lewat atau belum ya? Saya mau kesana. Apartemen yang lagi ada proyek pembangunan," ujar orang itu, seorang bapak tua dengan kisaran umur di atas 50 tahun.
Saya yang kebetulan duduk di belakang supir mendengar pertanyaan tersebut. Saya pun bingung. Seumur-umur berkeliling di daerah Kuningan-Casablanca, belum pernah saya mendengar ada kawasan apartemen dengan nama Vika. Saya pun tertarik untuk mendengar lebih lanjut percakapan antara bapak tua itu dengan si supir.
"Apartemen apa pak? Apartemen Vika? Dimana alamatnya? Lokasinya di sebelah mana? Dikasih tahu ancer-ancernya nggak?" jawab si supir kebingungan.
"Katanya di Casablanca. Apartemen Vika, lagi ada proyek disitu. Saya mau kerja bangunan disitu mas. Sudah lewat belum ya?" tanya si bapak lagi, dengan logat Jawa yang kental.
"Bapak nggak punya alamatnya? Setahu saya sih di daerah Casablanca ini nggak ada yang namanya Apartemen Vika pak. Tapi kalau proyek bangunan, ada di depan. Bapak nanti turun disitu saja, siapa tahu benar" jawab si supir.
Si bapak tua pun mengangguk, menggantungkan nasibnya kepada si supir yang masih terlihat bingung.
"Punya hp nggak pak? Telpon saja orangnya. Ada nomor telpon kenalan bapak disitu?" tanya si supir lagi.
"Nggak punya mas. Cuma dikasih tahu saja Apartemen Vika, di Casablanca, gitu. Saya baru sampai dari kampung tadi pagi di Senen. Sudah muter-muter dari pagi, belum ketemu juga," jawab si bapak, memelas.
Si supir pun diam. Memacu mikroletnya supaya lebih cepat sampai di lokasi yang tadi dimaksudnya.
Tepat di depan sebuah proyek pembangunan gedung, si supir memberhentikan mobilnya.
"Pak, ini proyek bangunan yang saya bilang. Coba bapak turun saja, langsung masuk ke dalam, tanya sama mandornya. Soalnya nggak ada lagi proyek di daerah sini," ujar si supir.
"Oh ini ya. Ya sudah saya turun sini saja mas. Semoga bener ini tempatnya ya. Capek juga saya muter terus dari pagi," jawab si bapak sambil membuka pintu, untuk kemudian turun.
Layaknya penumpang angkutan umum lain, si bapak itu memberikan sejumlah uang kepada si supir. Ongkos sesuai tarif yang berlaku. Yang mengherankan, si supir justru menolak uang tersebut dengan halus.
"Sudah pak, nggak usah bayar. Bapak langsung masuk saja ke dalam," jawab si supir.
"Wah terima kasih ya mas," ujar si bapak sambil melangkah gontai ke dalam area proyek.
Saya pun heran . Tumben seorang supir mikrolet menolak ongkos dari penumpangnya. Biasanya, ongkos kurang 500 rupiah saja ditagih. Saya pun mencoba ngobrol dengan si supir, berkaitan dengan bapak tersebut.
"Bapak itu sudah berulang kali naik mobil saya hari ini. Tadi itu sudah ketiga kalinya. Kasihan saya. Dari pagi cari lokasi kerjanya, tapi nggak ketemu. Nggak megang hp, nggak dikasih alamat jelas, main jalan saja ke Jakarta. Gimana kalau ternyata bapak itu ditipu? Lebih kasihan lagi kan? Itulah rakyat kita yang kurang pendidikan. Kurang bisa berpikir logis, kurang cermat jadinya. Kasihan. Pemerintah kurang memperhatikan nasib rakyat yang kayak bapak itu," jelas si supir panjang lebar.
Saya pun tertegun. Terkejut. Terkejut dengan kenyataan bahwa bapak itu sudah 3 kali naik angkot dengan supir yang sama, dan terkejut dengan kemurahan hati si supir.
"Kalau nanti pas saya lewat situ lagi, dan si bapak ada di depan, pasti saya suruh naik mobil saya lagi. Siapa tahu ternyata tempat itu bukan yang dicari. Saya suruh naik mobil saya, nggak usah bayar, kita cari lagi tempatnya. Kalau memang nggak ketemu, ya kita lihat nanti gimana selanjutnya," ujar si supir.
Saya yang sudah harus turun pun melangkahkan kaki keluar mikrolet. Masih dengan perasaan terkejut, sekaligus salut dengan pemikiran dan kebaikan hati si supir. Si supir tentu membutuhkan uang supaya bisa membayar setoran per harinya. Tapi dia tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan, nilai ketimuran lebih tepatnya, untuk membantu sesamanya. Dia rela untuk kehilangan satu ruangan penumpangnya, demi membantu seorang asing yang belum pernah ditemui sebelumnya, yang kebetulan lagi kesusahan.
Tenggang rasa itu masih ada.
Langganan:
Postingan (Atom)