A man is a success,
if he gets up in the morning,
and gets to bed at night,
and in between...
he does what he wants to do.
Bob Dylan.

a bunch of this and that

September 23, 2007

day one

Huf! Hari pertama di Singapore! Tentunya yang pertama kali saya tuju adalah apartemen saudara saya. Jelas lah, itu akan jadi tempat tinggal saya selama kurang lebih 4 hari ke depan.
Jarak dari Harbour Front ke daerah dimana apartemen itu berdiri, lumayan jauh. Beruntung, jarak itu bisa ditembus dengan MRT. Selama perjalanan, saya mencoba mengenalkan teman saya, kepada saudara saya. Dan keduanya pun terlibat percakapan seru. Mulai dari hal mengenai musik, lifestyle, sampai kultur yang bercampur aduk di Singapore.
Begitu sampai di stasiun yang dituju, kami segera turun. Sial! Ternyata saya masih harus berjalan kaki untuk sampai di aparteman. Daripada kesal, saya mencoba menghibur diri dengan melihat sekeliling. Untungnya, pemandangan yang ada di sekitar selama berjalan kaki, terbilang menarik. Pasar yang menjual makanan, jauh dari kesan kotor. Makanan yang dijajakan jadi terlihat menggiurkan. Saya pun mencoba merogoh kantong. Das! Sial! Ternyata saya tidak punya duit receh, untuk beli jajanan itu.
Gagal membeli makanan kecil, saya berhasrat ingin merokok. Maklum, sedari turun di Harbour Front tadi, belum sekali pun saya menghirup teman kecil saya itu. Eits! Tapi yang namanya Singapore, larangan dan peraturan untuk merokok itu ketat sekali! Mengesalkan memang. Tapi apa boleh buat? Saya tidak bisa apa-apa. Toh, saya hanya pengunjung ekonomis yang mencoba menambah devisa negara singa itu.
Maka saya memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu pada saudara saya. Ternyata, sepanjang jalan tersebut adalah area merokok. Dengan penuh kejayaan, saya mengeluarkan sebungkus rokok putih, yang disana dibandrol seharga sekitar 12 dolar Singapore. Atau sekitar 60 ribuan rupiah! Sial! Mahal sekali harga rokok disana!

Sesampainya di apartemen, saya merebahkan badan di kursi panjang. Ah! Pegal rasanya punggung ini. Sambil mengeluarkan dan mengatur barang-barang yang ada di tas, saya mencoba bertanya, apakah rencana hari ini.
Melalui perbincangan konyol kami bertiga, akhirnya diputuskan bahwa hari ini kami akan berkeliling Singapore saja. Tentunya bukan hanya daerah yang jadi tujuan para turis saja. Tapi sampai ke pelosok Singapore, yang jadi mainan para penduduk Singapore. Kebetulan, menurut saudara saya yang sudah tinggal disana selama beberapa tahun, tempat-tempat tersebut jarang jadi incaran para turis.

“Tapi malamnya kita nge-beer ya.” ujar saya, seraya menawarkan.

Teman saya dan saudara saya mengangguk, tanda setuju. Sip! Tidak salah saya memilih partner “naik haji” kali ini. A bottle of beer in a cold windy night, is a must!
Kriiing! Tiba-tiba ponsel teman saya berbunyi. Ada sms masuk. Ternyata itu dari si cewek yang tadi bertemu di kapal feri. Dia memang memutuskan untuk berjalan-jalan bersama kami, selama berada di Singapore.
Isi smsnya menanyakan apa yang akan kami lakukan di hari pertama ini. Begitu tahu bahwa kami akan berkeliling, dan diakhiri dengan nge-beer, si cewek jadi semangat. Dan memutuskan untuk bertemu kami di salah satu daerah, nanti sore.

Baiklah! Ayo kita mulai petualangan hari ini.

Yang pertama saya ingin lihat adalah skatepark, yang menurut saudara saya lumayan tersebar di beberapa daerah di Singapore. Sedikit norak. Maklum, di Jakarta sudah tidak ada lagi skatepark semenjak ditutupnya skatepark di Kemang.
Selepas melihat skatepark, kami mulai berbelanja di Bugis Street. Tempat yang mirip-mirip Melawai di Jakarta. Bedanya, Bugis Street jauh lebih rapih, dan barang-barangnya pun lebih variatif.
Ada beberapa barang yang memang saya cari di Bugis Street. Salah satunya adalah jam tangan dengan label Popart, yang jadi titipan manusia-manusia jahanam di kantor. Kenapa jahanam? Mereka sama sekali tidak ada yang menitipkan uang sepeser pun! Cuma berkata,

“Gue warna biru ya”

“Gue yang transparan aja.”

“Gue mau yang merah dong.”

“Gue samain aja deh, yang transparan.”

“Kalo gue, lo tau kan. Yang hitam ya.”

“Jangan beliin gue warna-warna yang nyentrik ya! Beliin yang kira-kira sesuai aja sama warna kulit gue.”

Das! Begitu banyak wasiat yang keluar dari mulut-mulut di kantor. Kenapa kalimat titipan yang terakhir begitu panjang? Kebetulan orang yang mengucapkan itu memang terkenal dengan teknik intriknya yang sejuta. Banyak intrik!
Yah, akan saya belikan semampunya lah. Toh, saya memang tidak membawa uang banyak ke sini. Namanya juga mengambil dari tabungan hasil kerja. Terbatas!

Capek berputar-putar, perut mulai berbunyi. Saatnya cari makan! Salah satu kegiatan yang jadi favorit saya seumur hidup.
Awalnya saudara saya menawarkan makan di salah satu burger joint. Saya dan teman saya pun menolak. Dengan alasan, restoran burger tersebut, baru saja membuka kembali tokonya di Jakarta. Akhirnya kami memutuskan untuk memakan masakan Singapore. Yang artinya bakalan ada campuran antara makanan Melayu, dan makanan Cina di daftar makanan dan minumannya.
Betul saja! Begitu melihat daftar makanannya, saya jadi kebingungan sendiri. Mau makan nasi, takut rasanya aneh. Mau makan mie, takut nggak kenyang. Kalo makan sup, malah takut sakit perut ujung-ujungnya.
Yah, daripada nggak makan sama sekali, akhirnya saya memutuskan memesan semangkuk mie. Tidak sampai 5 menit, makanan itu segera sampai di hadapan saya. Semangkuk mie, dengan aksesoris yang terbilang banyak. Mulai dari bakso sapi, tahu, bakso ikan, sampai udang. Padahal harganya hanya 2.50 dolar Singapore! Sekitar 14 ribu Rupiah!

Suapan pertama.
Sial! Mie apa ini?! Kenapa rasanya aneh begini?! Seperti tidak diberi garam dan merica! Anyep!
Uh! Untungnya ada cabe, yang jadi tambahannya. Dengan spontan saya memasukan cabe tersebut, beserta potongan-potongan cabe hijau yang besar. Sedikit diaduk, lalu kembali memasukkan suapan ke dalam mulut.
Sial! Kali ini terlalu pedas! Rasanya saya terlalu banyak memasukkan cabe ke dalamnya! Ah, daripada kelaparan, sikat aja lah! Ujar saya dalam hati.
Selesai makan, saatnya merokok. Saat itu lah si cewek tadi datang menghampiri kami. Walaupun sempat sedikit kebingungan mencari tempat kami makan, tapi akhirnya dia berhasil menemukannya.

Setelahnya, saudara saya mengajak saya, teman saya, dan si cewek, ke toko musik. Kebetulan toko musik itu adalah milik temannya sendiri. Dan kebetulan lagi, toko musik itu sekaligus adalah record label independen Singapore. Kebanyakan merilis band-band dengan jenis musik punk, dan hardcore.
Di toko ini, lagi-lagi saya mendapat shock therapy. Saat sedang asyik memilih-milih cd, tiba-tiba saya menemukan cd Mandalay! Saya ambil. Ternyata itu adalah album Solace, yang memuat 2 keping di dalamnya. Jadi keping pertama adalah versi asli lagu-lagu Mandalay, sedangkan keping yang kedua adalah versi remix.
Ah! Sial! Saya ingin sekali membeli cd ini! Tapi ini baru hari pertama, saya tidak tahu apakah uang saya cukup untuk membeli cd ini, dan bertahan hidup di sana selama 4 hari. Jadi, yang lakukan hanyalah membulak balik cd tersebut sampai puas, sambil sedikit ngiler, dan menaruhnya lagi ke dalam rak cd (dan sampai saya menulis blog ini, cd tersebut belum saya beli!).
Teman saya sedikit beruntung. Alih alih membeli cd, dia malah menemukan buku tentang musik. Yang isinya menceritakan musik dari jaman ke jaman. Lengkap dengan genre, dan pembahasan artisnya. Bukunya sendiri cukup besar ukurannya.
Awalnya dia sempat ragu untuk membeli buku tersebut. Tapi saya berhasil meyakinkannya, dengan alasan harga.

“Lo nggak bakalan dapet tuh buku dengan harga segitu kalo di Jakarta! Di Jakarta pasti bakal lebih mahal nyet!” ujar saya semangat.

Tanpa banyak basa basi lagi, teman saya menuju kasir sambil menenteng buku besar itu. Selesai dibayar, dia segera mengelus-elus bukunya. Sambil tersenyum girang, layaknya anak kecil yang habis dibelikan mainan.

Selesai berbasa basi dengan pemilik toko tersebut (yang lagi-lagi ber-Singlish ria!), kami memutuskan mampir di salah satu bar di dekat situ. Bar disini diartikan secara harafiah, tempat minum. Bukannya tempat mendengarkan EDM (Electronic Dance Music), seperti kebanyakan bar yang sudah salah kaprah di Jakarta. Di bar ini, orang-orang yang datang hanya duduk, dan menikmati bir yang terus mengalir, sesuai uang yang dimiliki. It’s very comfy!
Menikmati segelas bir dingin di malam hari, dengan udara bersih Singapore, ditemani pemandangan malam Singapore, dengan lantunan lagu bernuansa swing, yang berhembus dari dalam bar.

Life is beautiful.

kelanjutan perjalanan

Euphoria The Cure mulai melanda saat saya menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Walaupun saat itu terbilang masih subuh, hati ini berdegup kencang rasanya. Tidak sabar ingin segera bernyanyi bersama Robert Smith.

Sial! Pesawat ke Batam yang akan saya tumpangi ternyata di delay. Maklum, namanya juga maskapai penerbangan yang katanya low fare. Jadi hal seperti delay sudah jadi santapan pembuka. Yah, apa boleh buat. Terpaksa harus menunggu selama 2 jam di ruang tunggu yang disediakan.

Merasa mati gaya, saya pun membeli kopi. Berharap bisa memberikan efek positif kepada mata saya. Apa daya, kantuk yang sudah terlanjur melanda, tidak bisa dibunuh dengan segelas kafein, yang kebetulan kadarnya tidak sesuai dengan harga yang harus ditebus.
Teman saya (yang sepertinya juga dilanda penyakit mati gaya), mencoba menghibur dirinya dengan menyalakan iPod. Ini menggugah saya untuk bertanya, apa lagu yang sedang didengarkannya.

“The Cure lah nyet! Apa lagi coba?” ujarnya lantang.

Ow! Ternyata euphoria itu bukan hanya melanda saya seorang. Teman saya juga ikut terdistorsi otaknya, dengan sosok seorang Robert Smith. Hm, rasanya asik juga menunggu pesawat sialan itu, sambil ditemani lagu Doing The Unstuck-nya The Cure, ujar saya dalam hati. Maka, bisa ditebak. Saya juga ikut-ikutan menyalakan ipod saya, yang kebetulan earphone-nya mati sebelah kala itu.

Sekitar 2 jam sudah berlalu, dan kopi tanpa rasa yang saya beli belum juga habis. Kesal yang sedari tadi sudah bergejolak, rasanya sudah hampir mencapai batasnya. Beruntung, panggilan dari petugas sudah berbunyi. Itu menandakan bahwa saya dan segenap penumpang bisa segera menaiki pesawat.
Bergegas lah saya dan teman berdiri dari tempat duduk yang sama sekali tidak terasa nyaman. Keras banget! Sesampainya di dalam pesawat, hanya satu hal yang terpikirkan dibenak saya, tidur!!!

Karena saya dan teman sepakat untuk mengambil rute Jakarta-Batam-Singapore (tentunya gara-gara pertimbangan biaya), maka saya masih harus menaiki kapal feri yang menyebrangkan saya dari Batam ke Singapore.
Ada satu hal yang membuat saya sedikit terperangah. Saat menaiki jasa kapal feri berlabel Batam Fast, tiba-tiba ada seorang cewek yang menegur saya dan teman saya.

“Mau nonton The Cure juga ya?” tanyanya tiba-tiba.

Saya yang merasa kaget, tidak bisa segera menjawab. Untungnya teman saya segera menjawab, dan mengiyakan pertanyaan si cewek. Maka dimulailah percakapan antara saya, teman saya, dan si cewek. Berhubung saya adalah pengidap mabuk laut akut, maka saya memutuskan untuk tidur. Tentunya setelah meminta izin kepada teman saya, dan si cewek.
Dengan mengambil rute penyebrangan Batam-Singapore, saya dan teman pun tiba di pelabuhan Harbour Front. Sebelum sampai di Harbour Front, si cewek mengatakan sebuah kalimat yang cukup membuat penasaran.

“Harbour Front sama bandara Soekarno Hatta itu, kalo dibandingin masih bagusan Harbour Front kemana-mana!” ujarnya.

Saya yang baru kali itu ke Singapore melewati Harbour Front, mengernyitkan dahi. Masa sih bagusan pelabuhan daripada bandara? Ujar saya dalam hati. Yah, kita buktikan aja nanti.
Ternyata, apa yang dikatakan cewek itu benar seada-adanya! Lebih bagus, lebih rapih, lebih terawat, dan lebih mewah Harbour Front daripada bandara Soekarno Hatta! Tapi, masih lebih besar bandara kesayangan kita itu sih.

Setelah melalui proses imigrasi, saya pun mampir di Duty Free Shop. Soalnya saya teringat titipan dari saudara saya (yang akan saya repotkan selama saya berada di Singapore). Yaitu, sebotol alkohol, yang tentunya akan mewarnai hidup kami selama disana. Hahaha!
Dengan sedikit kebingungan, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil sebotol Absolut Raspberry. Keputusan itu saya ambil setelah memutari seisi toko selama kurang lebih 15 menit. Maklum, bingung memilih “teman” bersenang-senang.
Segera setelah membayar di kasir (tentunya sang kasir melayani saya dengan Singlish-nya yang aduhai), saya, teman saya, dan si cewek berjalan keluar, dan menghampiri saudara saya yang sudah menunggu.
Memang dasar dunia itu sempit. Ternyata si cewek dan saudara sudah saling kenal! Dimana? Mereka adalah junior dan senior saat SMP dulu. Sial! Kenap orang-orangnya itu-itu aja sih?
Ya sudahlah. Yang penting saya sudah sampai di Singapore. Dan sudah siap untuk menghadapi momen besar dalam hidup saya. Dengan degup jantung yang makin kencang, saya melangkahkan kaki ke stasiun MRT, dan mengucapkan,

“The Cure, here I come!”