A man is a success,
if he gets up in the morning,
and gets to bed at night,
and in between...
he does what he wants to do.
Bob Dylan.

a bunch of this and that

Juni 21, 2011

Tenggang Rasa Itu Masih Ada

Manusia modern di Jakarta, sudah lebih banyak menelan mentah-mentah nilai budaya Barat. Terlebih untuk masyarakat kelas menengah ke atas. Seakan semua memuja sikap dan budaya individualistis, seperti yang sering kita lihat, baca, ataupun dengar di cerita budaya masyarakat Barat. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Apalagi mengingat persaingan dan keruwetan hidup di kota metropolitan seperti Jakarta. Seakan sikap indivualistis jadi oase menyegarkan, yang bisa mengistirahatkan jiwa dari hiruk pikuk pukul 7 pagi dan 5 sore.

Tenggang rasa, yang pernah diajarkan saat Sekolah Dasar dulu, seakan menguap entah kemana. Sikap yang menurut generasi sebelum kita sebaiknya dijadikan dasar dalam menjalani hidup, seakan dilupakan.

Saya sendiri termasuk orang yang cuek, kalau tidak mau dibilang masa bodo, terhadap keadaan sekeliling di jalan. Apalagi saat berada di pusat keramaian, jalan raya yang penuh dengan orang dan kendaraan, atau saat berada di tengah terminal kendaraan umum, yang suasananya membuat ingin punya jurus ninja untuk secepatnya menghilang dari tempat tersebut. Apalagi dengan kenyataan, banyak modus kejahatan yang beredar di kota sebesar dan sekreatif Jakarta. Para penjahatnya ikutan kreatif. Seakan tidak mau ketinggalan dengan buruannya yang sudah barang tentu punya pola pikir tertentu untuk melindungi diri dari kejahatan. Kalau lantas ada orang yang bersikap cuek terhadap seseorang yang meminta tolong di tengah keramaian, tentu tidak mengherankan. Terlalu banyak kadar curiga terhadap orang asing yang baru ditemui saat itu.

Tapi ada satu kejadian yang cukup membuat saya tersenyum. Sudah setengah tahun belakangan saya jarang beraktivitas dengan menggunakan kendaraan pribadi. Selain ingin mencoba lebih berhemat, macet yang kian parah membuat saya menyerah melajukan mobil di jalanan Jakarta, kalau kondisinya tidak mendesak. Jadi, mikrolet dan mode transportasi paling gres di Jakarta, TransJakarta, adalah teman saya dalam melibas kegiatan sehari-hari.

Mikrolet M44 adalah salah satu angkutan umum yang sering saya naiki. Dari Kampung Melayu, mikrolet ini berjalan lincah (atau pasrah) menerobos kemacetan kawasan Casablanca.

Suatu waktu, saya sedang berada di mikrolet M44. Dan saya melihat seorang penumpang lain dengan wajah kebingungan. Dengan gelisah dia berulang kali melongok ke kiri dan kanan, seakan mencari lokasi tanpa kepastian. Saat bangku depan, yang berada tepat disamping supir kosong, dia pun pindah ke depan. Tanpa banyak basa basi, dia pun langsung bertanya pada sang supir.

"Mas, apartemen Vika itu sudah lewat atau belum ya? Saya mau kesana. Apartemen yang lagi ada proyek pembangunan," ujar orang itu, seorang bapak tua dengan kisaran umur di atas 50 tahun.

Saya yang kebetulan duduk di belakang supir mendengar pertanyaan tersebut. Saya pun bingung. Seumur-umur berkeliling di daerah Kuningan-Casablanca, belum pernah saya mendengar ada kawasan apartemen dengan nama Vika. Saya pun tertarik untuk mendengar lebih lanjut percakapan antara bapak tua itu dengan si supir.

"Apartemen apa pak? Apartemen Vika? Dimana alamatnya? Lokasinya di sebelah mana? Dikasih tahu ancer-ancernya nggak?" jawab si supir kebingungan.

"Katanya di Casablanca. Apartemen Vika, lagi ada proyek disitu. Saya mau kerja bangunan disitu mas. Sudah lewat belum ya?" tanya si bapak lagi, dengan logat Jawa yang kental.

"Bapak nggak punya alamatnya? Setahu saya sih di daerah Casablanca ini nggak ada yang namanya Apartemen Vika pak. Tapi kalau proyek bangunan, ada di depan. Bapak nanti turun disitu saja, siapa tahu benar" jawab si supir.

Si bapak tua pun mengangguk, menggantungkan nasibnya kepada si supir yang masih terlihat bingung.

"Punya hp nggak pak? Telpon saja orangnya. Ada nomor telpon kenalan bapak disitu?" tanya si supir lagi.

"Nggak punya mas. Cuma dikasih tahu saja Apartemen Vika, di Casablanca, gitu. Saya baru sampai dari kampung tadi pagi di Senen. Sudah muter-muter dari pagi, belum ketemu juga," jawab si bapak, memelas.

Si supir pun diam. Memacu mikroletnya supaya lebih cepat sampai di lokasi yang tadi dimaksudnya.

Tepat di depan sebuah proyek pembangunan gedung, si supir memberhentikan mobilnya.

"Pak, ini proyek bangunan yang saya bilang. Coba bapak turun saja, langsung masuk ke dalam, tanya sama mandornya. Soalnya nggak ada lagi proyek di daerah sini," ujar si supir.

"Oh ini ya. Ya sudah saya turun sini saja mas. Semoga bener ini tempatnya ya. Capek juga saya muter terus dari pagi," jawab si bapak sambil membuka pintu, untuk kemudian turun.

Layaknya penumpang angkutan umum lain, si bapak itu memberikan sejumlah uang kepada si supir. Ongkos sesuai tarif yang berlaku. Yang mengherankan, si supir justru menolak uang tersebut dengan halus.

"Sudah pak, nggak usah bayar. Bapak langsung masuk saja ke dalam," jawab si supir.

"Wah terima kasih ya mas," ujar si bapak sambil melangkah gontai ke dalam area proyek.

Saya pun heran . Tumben seorang supir mikrolet menolak ongkos dari penumpangnya. Biasanya, ongkos kurang 500 rupiah saja ditagih. Saya pun mencoba ngobrol dengan si supir, berkaitan dengan bapak tersebut.

"Bapak itu sudah berulang kali naik mobil saya hari ini. Tadi itu sudah ketiga kalinya. Kasihan saya. Dari pagi cari lokasi kerjanya, tapi nggak ketemu. Nggak megang hp, nggak dikasih alamat jelas, main jalan saja ke Jakarta. Gimana kalau ternyata bapak itu ditipu? Lebih kasihan lagi kan? Itulah rakyat kita yang kurang pendidikan. Kurang bisa berpikir logis, kurang cermat jadinya. Kasihan. Pemerintah kurang memperhatikan nasib rakyat yang kayak bapak itu," jelas si supir panjang lebar.

Saya pun tertegun. Terkejut. Terkejut dengan kenyataan bahwa bapak itu sudah 3 kali naik angkot dengan supir yang sama, dan terkejut dengan kemurahan hati si supir.

"Kalau nanti pas saya lewat situ lagi, dan si bapak ada di depan, pasti saya suruh naik mobil saya lagi. Siapa tahu ternyata tempat itu bukan yang dicari. Saya suruh naik mobil saya, nggak usah bayar, kita cari lagi tempatnya. Kalau memang nggak ketemu, ya kita lihat nanti gimana selanjutnya," ujar si supir.

Saya yang sudah harus turun pun melangkahkan kaki keluar mikrolet. Masih dengan perasaan terkejut, sekaligus salut dengan pemikiran dan kebaikan hati si supir. Si supir tentu membutuhkan uang supaya bisa membayar setoran per harinya. Tapi dia tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan, nilai ketimuran lebih tepatnya, untuk membantu sesamanya. Dia rela untuk kehilangan satu ruangan penumpangnya, demi membantu seorang asing yang belum pernah ditemui sebelumnya, yang kebetulan lagi kesusahan.

Tenggang rasa itu masih ada.

Saddest Part Of A Broken Heart

Mengejar selama 2 tahun. Membangun dan menjalani selama 2 tahun. Hancur dalam 2 jam.

Kenyamanan hidup berdampingan yang sudah ada di benak, sirna begitu saja. Dukungan dan sambutan hangat itu mungkin sudah sulit dirasakan lagi. Rasa memiliki itu, entah menghilang kemana. Menguap tanpa jejak.

Konflik, pertengkaran, masalah, selisih paham, terasa seperti kenangan yang indah. Momen bahagia, mengharukan, tawa ceria yang dulu dijalani, menjadi kenangan yang menyakitkan. Mengundang derai air mata. Terkadang bisa dibendung, terkadang justru mengalir begitu saja tanpa tahu apa penyebab terbukanya bendungan tersebut.

Lantunan nada yang dulu membentuk semua kenangan saat bersama, terasa lekat. Ucapan, tulisan, suara, aksi, dan reaksi dari dirinya, jadi oase yang menyegarkan sekaligus memilukan.

Bukan, bukan masa depan lah bagian terparah dari patah hati. Saat ini, dan beberapa jam ke depan adalah jurang terdalamnya. Saat ini lah semua kenangan masa lalu datang bertubi-tubi. Seraya mengingatkan kembali, perjalanan hidup yang sudah berhasil dilalui.

Hanya butuh 2 jam, dengan halangan yang datang dari ke-2 orang tua untuk memisahkan hubungan 2 manusia, yang sudah saling tarik ulur selama 2 tahun, untuk selanjutnya menjalani hubungan indah selama 2 tahun.

The saddest part is not the ending. This is it, the saddest part of a broken heart.